Yerusalem adalah sebuah kota universal. Selama berabad-abad, ia menjadi
pusat dunia. Kota di tengah perbukitan Yudea itu sejak dulu menjadi
pusat pertarungan bangsa-bangsa, bahkan antara tiga agama yang
dikembangkan keturunan Nabi Ibrahim. Kota itu menjadi panggung gemerlap
kamera dunia dalam abad berita 24 jam. Kepentingan keagamaan, politik,
dan media pun saling menyuapi demi memagut kota itu.
Lebih dari
itu, Yerusalem adalah kota suci, tapi ia selalu menjadi sarang takhayul
dan kefanatikan. Ia menjadi dambaan dan sasaran rebutan aneka
kekaisaran, walau tak punya nilai strategis. Kota itu menjadi rumah
kosmopolitan banyak sekte dan masing-masing masih yakin bahwa kota itu
hanya milik mereka. Sebuah kota dengan banyak nama dan tradisi, tapi
masing-masing tradisi begitu sektarian, sehingga mereka menihilkan pihak
lain.
Dari semua tempat di dunia, mengapa Yerusalem? Kota itu,
sekali lagi, adalah kota universal. Para nabi --Ibrahim, Daud, Isa, dan
Muhammad-- telah menjejakkan kakinya di bebatuan kota itu. Sejak masa
Nabi Daud hingga Presiden Barack Obama, sejak lahirnya agama Yahudi,
Kristen, dan Islam, hingga konflik Israel-Palestina, Yerusalem telah
melahirkan aneka kisah kepahlawan dari sudut pandang yang beragam pula.
Begitulah
penulis sekaligus sejarawan Inggris, Simon Sebag Montefiore,
menggambarkan betapa pentingnya pengaruh Yerusalem bagi sebagian besar
umat manusia. Menurut catatannya yang tertuang dalam buku Jerusalem: The
Biography, jauh sebelum Nabi Daud merebut Benteng Zion, kawasan itu
sudah berpenghuni. Konon, kawasan yang punya banyak nama itu dihuni
manusia sejak tahun 5000 sebelum Masehi (SM).
Riwayat kota yang
juga berjuluk Al-Quds itu terputus selama berabad-abad. Dalam kisah
nabi-nabi diungkapkan bahwa Nabi Ibrahim pernah bermukim di sana bersama
istrinya, Siti Sarah, yang melahirkan Nabi Ishak ketika usianya sudah
sangat tua. Periode kehidupan “Bapak Para Nabi” itu diperkirakan dari
1997 SM hingga 1822 SM. Dari keturunan Nabi Ishak inilah kemudian lahir
bangsa Israel.
Di Bawah Kekuasaan Dua Nabi
Yerusalem menjadi
wilayah di bawah perlindungan Mesir setelah menaklukkan Palestina pada
1458 SM. Pada 1350 SM, pembesar yang berkuasa di Yerusalem, Abdi-Hepa,
meminta perlindungan kepada Akhenaten, Firaun dari kerajaan baru Mesir.
Ia membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan kerajaan kecilnya dari agresi
raja-raja tetangga dan gerombolan pengacau yang sering merampok.
Abdi-Hepa
adalah pembesar yang miskin. Ia berada dalam sebuah dunia yang di
bagian selatan didominasi orang Mesir, di bagian utara oleh orang Hatti
(Suriah), dan di barat laut oleh orang Yunani Mycenea yang akan
berperang dalam Perang Troya. Apa pun yang terjadi pada raja yang
terpojok itu, baru seabad kemudian orang-orang Yerusalem membangun
teras-teras yang menjulang di atas mata air Gihon di Bukit Ophel.
Teras-teras itu masih ada hingga kini. Tapi dunia Mediterania lama ini
dihancurkan gelombang pendatang yang disebut Orang-orang Laut yang
datang dari Laut Aegea.
Yerusalem di masa Nabi Daud adalah
Yerusalem yang mungil. Pada masa itu, kota Babylon di wilayah Irak saat
ini mencakup wilayah seluas 2.500 hektare. Bahkan luas kota terdekatnya,
Hazor, mencapai 200 hektare. Yerusalem mungkin tidak lebih dari 15
hektare, hanya cukup untuk menampung sekitar 1.200 orang di sekitar
benteng. Tapi penemuan mutakhir benteng-benteng di atas mata air Gihon
membuktikan bahwa Zion di bawah Daud jauh lebih substansial ketimbang
yang pernah diduga sebelumnya.
Setelah melewati karier luar
biasa, menyatukan Bani Israel dan mengukuhkan Yerusalem sebagai kota
Tuhan, Daud mangkat. Sebelumnya, ia sempat menyuruh Sulaiman membangun
kuil di Bukit Moriah. Ia dimakamkan di kota Daud. Putranya yang sangat
karismatik, Nabi Sulaiman, yang memulai kekuasaan pada 970 SM,
menyelesaikan misi suci itu: membangun Bait Suci yang kelak dijuluki
Bait Sulaiman.
Sulaiman berkuasa selama lebih-kurang 40 tahun.
Setelah dia, Bani Israel kembali pecah antara Rehobeam, anak Sulaiman,
dan Yerobeam, sang jenderal dari wilayah utara. Di bawah kekuasaan
keturunan Daud dan Sulaiman, Yerusalem menjadi ibu kota Kerajaan Yehuda.
Sementara itu, 10 suku utara, sejak perlawanan Yerobeam, membentuk
Kerajaan Israel.
Tenteram di Bawah Kekuasaan Islam
Bait Suci
mengalami kehancuran ketika Raja Babylonia, Nebukadnezar, menyerbu
Yerusalem. Menurut kronik Nebukadnezar yang tersimpan dalam sebuah
prasasti tanah liat, raja itu mengepung Yerusalem dan pada hari kedua
bulan Adar (16 Maret 697 SM) merebut kota itu serta menangkap Raja
Israel. Nebukadnezar menjarah Kuil Suci dan membuang raja beserta 10.000
bangsawan, perajin, dan para pemuda Israel ke Babylonia. Konon, pada
saat itulah Tabut Perjanjian lenyap untuk selamanya.
Dalam
catatan sejarah, Yerusalem sempat jatuh ke tangan bangsa Persia dan di
masa itu bangsa Israel kembali ke kota tersebut. Pada masa kekuasaan
Iskandar Agung yang berhasil menaklukkan Babylonia, bangsa ini
mendapatkan kembali hak-hak mereka untuk hidup dengan hukum mereka
sendiri. Sayangnya, sepeninggal Iskandar Agung, kota itu kembali jadi
ajang perebutan raja-raja berbagai dinasti, termasuk di bawah kekuasaan
Romawi selama puluhan tahun.
Yerusalem selama belasan abad berada
di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam. Kota itu jatuh ke tangan
kaum muslim saat Khalifah Umar bin Khatab memegang tampuk kepemimpinan.
Di masa Umar ini, kaum Yahudi merasa terlindungi. Khalifah Umar tidak
hanya mengundang mereka memelihara Kuil Suci, melainkan juga membolehkan
mereka berdoa di sana. Lebih jauh, Khalifah Umar pun mengundang
komunitas Yahudi Tiberia kembali ke Yerusalem bersama 70 keluarga Yahudi
lainnya.
Suasana kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi ini terus
bertahan, dari masa kekuasaan Umayyah, Abbasiyah, hingga masa kekuasaan
Fatimiyah. Saat Muawiyyah memerintah Yerusalem, ia mengagungkan kota
itu. Ia memukimkan lebih banyak orang Yahudi di kota itu, bahkan
merestorasi kuil-kuil mereka. Toleransi yang tinggi juga diperlihatkan
para khalifah dari Bani Abbas (Abbasiyah) dan Bani Fatimah (Fatimiyah).
Masa Kegelapan Sejak Dinasti Mamluk
Yerusalem
sempat mengalami masa kegelapan selama penyerbuan tentara Frank yang
dimulai sejak 1099. Kondisi seperti di masa kekuasaan Bani Umayyah baru
dirasakan kembali setelah Yerusalem direbut Sultan Saladin. Masa
kekuasaan sultan dari Bani Ayyub (Ayyubiyah) inilah yang tercatat
sebagai periode investasi besar. Umat Yahudi dan muslim kembali hidup
berdampingan secara damai.
Yerusalem kembali ke masa kegelapan
selama lebih dari dua setengah abad di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk,
yang asalnya adalah tentara budak. Banyak pertentangan terjadi selama
dinasti itu berkuasa, baik melawan tentara Salib maupun tentara Mongol.
Tamatnya riwayat kekuasaan Mamluk di Yerusalem diawali dengan
persekutuan pragmatisnya dengan Dinasti Ottoman dari Turki. Dinasti
terakhir inilah yang menjadi penguasa kota suci itu sejak 1517 hingga
dikuasai Inggris pada 1922 lewat Konferensi Lausanne.
Di bawah
pendudukan Inggris, berlangsung migrasi besar-besaran warga Yahudi ke
Yerusalem. Tercatat, dalam kurun 1922-1948, penduduk kota Yerusalem
meningkat tiga kali lipat: dari sekitar 52.000 menjadi hampir 165.000
orang. Komposisinya, 100.000 lebih warga Yahudi, 34.000 muslim, dan
sekitar 30.000 Kristen. Trio pemimpin Yahudi --Ben-Gurion, Menachem
Begin, dan Lehi-- pernah mengoordinasi perjuangan melawan Inggris. Tapi,
belakangan, Inggris menjadi pendukung utama gerakan mereka bersama
Amerika Serikat.
Selama 1.000 tahun, Yerusalem secara eksklusif
dikuasai umat Yahudi. Sekitar 400 tahun kota itu dikuasai umat Kristen
dan selama 1.300 tahun oleh umat Islam. Tapi, sejarah mencatat pula, tak
satu pun dari umat ketiga agama itu pernah mendapatkan Yerusalem tanpa
pedang.
Kedekatan Sejarah dengan Mekkah
Bagi umat Islam,
Yerusalem memiliki kedekatan kesejarahan dengan kota suci lainnya:
Mekkah. Masjid Al-Aqsha yang ada di kota itu pernah menjadi kiblat
pertama sebelum beralih ke Kabah di tengah Masjid Al-Haram di Mekkah.
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pun melalui kota itu sebelum naik ke
Sidrat Al-Muntaha.
Jauh sebelum itu, kedekatan kesejarahan juga
terjalin lewat Nabi Ibrahim. “Bapak Para Nabi” ini bolak-balik dari
Yerusalem ke Mekkah karena di kota itulah ia meninggalkan istri
keduanya, Siti Hajar, bersama putranya yang juga berstatus nabi: Ismail.
Ibu dan anak inilah yang disebut-sebut sebagai penduduk pertama Mekkah.
Keturunan Nabi Ismail kemudian melahirkan bangsa Arab. Kota ini pun
memberi pengaruh besar pada umat, terutama bagi sekitar 1,6 milyar
penduduk dunia yang beragama Islam.
Menurut catatan statistik,
rata-rata setiap tahun sekitar 1,75 juta warga muslim dari berbagai
belahan dunia datang ke kota itu untuk menunaikan ibadah haji. Belum
lagi mereka yang datang untuk beribadah umrah. Terkabar, tak kurang dari
lima juta umat per bulan singgah di Mekkah untuk melakukan umrah.
Secara ekonomis, kota
itu berada di negeri terkaya dengan bahan bakar
minyak. Di luar itu, harus diakui, Mekkah melahirkan peradaban muslim
yang bertahan selama berabad-abad.
Tidak hanya itu. Posisi
sentral Mekkah pun dibuktikan secara ilmiah oleh Dr. Husain Kamaluddin,
ilmuwan modern muslim asal Mesir. Lewat penelitiannya yang rumit dan
panjang pada 1970-an, ia berhasil membuktikan bahwa Mekkah merupakan
pusat bagi seluruh benua yang ada di bumi. Dalam riset itu, ia
melukiskan peta dunia baru yang dapat menunjukkan arah Mekkah dari
kota-kota lain di dunia. Dengan menggunakan perkiraan matematik dan
kaidah yang disebut spherical triangle, Husain menyimpulkan, posisi
Mekkah betul-betul berada di tengah-tengah daratan bumi.
Adalah
Abdul Aziz ibnu Saud yang paling berjasa memodernisasi kota itu bersama
kota-kota lain yang ada di Arab Saudi. Dia boleh dibilang pendiri
kerajaan itu sekaligus raja pertamanya sejak 1932. Wajah kota Mekkah pun
berubah cepat sejak minyak bumi ditemukan di perut bumi Saudi pada
1938. Perluasan demi perluasan dilakukan di sekitar Masjid Al-Haram.
Yang mutakhir, di kota itu dibangun menara “jam gadang” yang amat megah,
yang diharapkan menjadi patokan waktu bagi muslim di seluruh dunia.
Tempat Bersemai Pemikiran Bebas
Bila
Yerusalem dan Mekkah memberi pengaruh besar secara spiritual pada
dunia, ada empat kota lain yang berpengaruh besar pada peradaban. Sebut
saja Athena, kota yang disebut para sejarawan sebagai tempat kelahiran
peradaban Barat. Mulai dibangun Theseus dari gabungan desa-desa kecil,
kota ini mencapai masa kegemilangan selama hampir satu abad. Dalam masa
itu, seni dan filsafat berkembang pesat, sebagai tempat bersemainya
bibit pemikiran bebas dan demokrasi.
Pengaruh intelektual Athena
sungguh amat besar. Dengan mengajukan dan mengejar pertanyaan-pertanyaan
kritis, para filsuf berhasil menciptakan tradisi intelektual yang
sangat dinamis. Dimulai dari Thales yang mendobrak pemikiran yang
mendasarkan diri pada mitos, hingga lahirnya para pemikir besar seperti
Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Dari tradisi yang hidup di kota
itulah, umat manusia mengenal penalaran dan demokrasi.
Menurut
catatan sejarawan Lewis Mumford, seperti dikutip Douglas Wilson,
keterlibatan dalam bidang seni menjadi bagian dari aktivitas warga yang
sama besarnya seperti dalam pelayanan di konsul atau persidangan. Selama
100 tahun kekaisaran, 2.000 pementasan drama dengan kualitas pilihan
ditulis dan dipentaskan di Athena. Selain itu, 6.000 komposisi musik
baru diciptakan dan ditampilkan.
Kemegahan serupa dilukiskan
sejarawan Donald Kagan. Menurut dia, masa itu adalah sebuah masa
prestasi kultural yang luar biasa. Boleh jadi, prestasi itu tak
tertandingi dalam hal orisinalitas dan produktivitas sepanjang sejarah
manusia. Para penyair mengangkat tragedi dan komedi ke tingkat yang
belum pernah terlampaui. Para arsitek dan pemahat menciptakan
bangunan-bangunan yang begitu kuat mempengaruhi seni di Barat. Masa itu
adalah masa perkembangan, kemakmuran, dan kepercayaan diri yang luar
biasa.
Tapi masa kejayaan itu seakan berakhir seiring dengan
peperangan melawan Sparta. Kejayaan yang diraihnya beralih ke Roma yang
memasuki periode republik. Walaupun sudah beralih ke Roma, Athena tetap
mendapat tempat terhormat dalam hal budaya. Bangsa Romawi menghargai apa
yang ada di Yunani sambil mengakuinya sebagai milik mereka juga.
Baghdad Jembatan di Zaman Kegelapan
Salah
satu warisan dan memberi pengaruh besar yang ditinggalkan Roma adalah
statusnya sebagai kota hukum dan keadilan. Aturan-aturan hukum dan
keadilan menjadi karakteristik kota itu. Lalu ada Coloseum yang menjadi
salah satu simbol masa-masa gemilang yang dicapai kota itu. Dengan daya
tampung hingga 50.000 orang, Coloseum menjadi tempat berlangsungnya
berbagai acara.
Di masa kejayaannya, Roma menerapkan penegakan
hukum yang hampir merata. Kota itu melaksanakan hukum yang keras sambil
tetap mempertimbangkan keadilan. Penegakan hukum dan prinsip-prinsip
keadilan yang dianutnya pun menjadi rujukan dasar yang dikembangkan di
kemudian hari, setelah umat manusia memasuki era modern sekalipun.
Sayangnya, masa kejayaan seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan pengaruh
Yunani itu memudar sejalan dengan keruntuhan pelan-pelan Imperium
Romawi.
Keruntuhan itu ditandai dengan pemisahan Romawi Timur dan
Barat. Jejak-jejak seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan dari zaman
Yunani klasik pelan-pelan menguap. Literatur yang dianggap “sesat”
diberangus dan dimusnahkan. Periode memudarnya bidang-bidang itulah yang
jadi bagian era yang disebut zaman kegelapan alias dark ages yang
berlangsung hingga sekitar abad ke-15.
Beruntung, di
tengah-tengah masa yang disebut zaman kegelapan itu, pemimpin muslim
justru bergerak menyelamatkan beragam peninggalan tertulis yang
berkaitan dengan seni, sastra, dan filsafat tradisi Yunani. Tidak
sekadar menyelamatkan, para cendekiawannya juga menerjemahkan
karya-karya besar para seniman dan pakar dari zaman Yunani-Romawi. Dalam
periode inilah, Baghdad berperan sebagai jembatan peradaban Barat dari
era Yunani klasik ke era modern.
Berawal dari kemenangan demi
kemenangan yang dicapai pada masa kekuasan Dinasti Abbasiyah. Dimulai
dari pemindahan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad pada tahun 762.
Sebelumnya, kota itu baru berupa perkampungan kecil. Dengan mengerahkan
lebih dari 100.000 pekerja, kota yang dalam bahasa Persia berarti
“Pemberian Tuhan” itu pun dibangun.
Di tengah-tengah kota itu,
dibangun ‘’Istana Emas’’ yang berdampingan dengan Masjid Jami Al-Mansur.
Tradisi keilmuan di Baghdad memang berembus dari istana. Kalangan
Istana, terutama khalifah, amat bersimpati pada aliran pemikiran
Muktazillah yang baru berkembang dan dipelopori Abu Hudzaifah Washil bin
Atha al-Ghazali. Aliran ini membuka peluang sebesar-besarnya pada akal
manusia dan menjadikan skeptisisme sebagai dasar sikap untuk memahami
segala hal.
Dasar-dasar rasionalisme seperti inilah yang sangat
berpengaruh terhadap posisi Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
kajian Islam selama lebih dari dua abad. Kemajuan di bidang kebudayaan
dan ilmu pengetahuan di Bagdad jelas sekali tak lepas dari dukungan
penuh kalangan istana. Pemerintah ketika itu menghidupkan tradisi
diskusi agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan di kalangan cendekiawan
dan pujangga besarnya.
Pembangunan dan Penghancuran Bait al-Hikmah
Gerakan
penerjemahan karya-karya ilmiah berbahasa Yunani, Persia, Suriah,
bahkan bahasa India ke dalam bahasa Arab pun digalakkan. Khalifah yang
berkuasa ketika itu, Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima Abbasyiah yang
memerintah selama 23 tahun (786-809), berhasil membangun lembaga ilmu
pengetahuan yang disebut Bait al-Hikmah. Walau baru sebagai lembaga
penerjemahan karya asing, Bait al-Hikmah memiliki arti sangat strategis
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Fungsi Bait al-Hikmah
kemudian diperluas oleh penerus Harun Ar-Rasyid, Khalifah Al-Ma’mun
(813-830 M). Lebih maju dari khalifah sebelumnya, Al-Ma’mun dengan tegas
menjadikan Muktazillah sebagai ideologi dan paham keagamaan resmi
negara. Selama 20 tahun memerintah, ia menjadikan lembaga itu sebagai
perguruan tinggi. Di situ pula ia membangun perpustakaan besar, dengan
koleksi bacaan sangat lengkap, dan pusat kajian ilmiah, lengkap dengan
ruang-ruang tempat para pakar berdiskusi. Malah lembaga itu memiliki
tempat khusus untuk mengobservasi bintang.
Langkah penting yang
dilakukan Al-Ma’mun dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah mengirim
utusan ke Roma. Dari Kaisar Leo Armenia, ia berusaha mendapatkan
karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan. Pada tahap pertama,
tim penerjemah yang dibentuknya mengalihbahasakan buku-buku di bidang
pengobatan dan filsafat. Setelah itu, baru disiplin lain, seperti
matematika, astronomi, fisika, dan geografi.
Kemauan baik
pemerintahan di bawah Bani Abbas untuk memajukan pendidikan dan ilmu
pengetahuan ini menyebabkan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan
agama berkembang pesat. Bukan itu saja, banyak orang dari berbagai
negeri mengalir ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Pakar dari berbagai kota
memilih bermukim di Baghdad untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu
kedokteran, matematika, kimia, fisika, astronomi, filsafat, sastra,
musik, dan ilmu-ilmu agama.
Dari masa itu, lahir banyak ilmuwan
muslim yang terkenal sebagai penemu di banyak bidang keilmuan. Dari
Al-Kindi yang memulai penyusunan ensklopedia ilmu pengetahuan hingga
Al-Biruni, filsuf yang juga ahli matematika dan astronomi. Dari Ibnu
Sina, Al-Ghazali, hingga Ibnu Rusyd, dan masih banyak lainnya, termasuk
pakar sosiologi yang diakui di masa itu, Ibnu Khaldun.
Sayangnya,
masa kejayaan ilmu pengetahuan, filsafat, dan pemikiran keagamaan di
dunia Islam surut sejak pertengahan abad ke-14. Yakni sejak bangsa
Mongol di bawah Hulaghu Khan dan Timur Leng menyerang, lalu melumatkan
pusat-pusat dunia ilmu di Baghdad. Bahkan pemusnahan khazanah ilmu
pengetahuan dan warisan peradaban klasik itu berulang di masa modern,
yakni dalam serangan pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat ke Baghdad
pada April 2003.
Baru sebagian kecil peninggalan yang hilang
selama invasi itu kembali ke tempatnya semula di Baghdad. Selebihnya
entah menguap ke mana. Entah berapa abad lagi diperlukan untuk
memperkaya kembali koleksi yang sangat tidak ternilai itu.