Minggu, 17 Februari 2013

kegelapan

Aku duduk menunggu di sebuah ruangan. Sayup-sayup terdengar suara riuh rendah dari balik pintu. Kelihatannya suasana sudah mulai ramai karena acara akan dimulai beberapa menit lagi. Kuhela nafas perlahan. Senang bercampur gugup merasuki batinku, sebentar lagi aku akan tampil di hadapan banyak orang. Pada saat seperti ini, aku selalu teringat dengan peristiwa empat tahun yang lalu. Jika peristiwa itu tidak terjadi, mungkin aku juga tidak akan pernah ada di sini.
Hari itu, aku mengendarai motorku dengan kecepatan standar. Aku telusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Jalan yang biasa aku lalui sepulang sekolah, dengan beberapa pohon rindang di kanan kiri. Kulihat seorang gadis berseragam putih abu-abu, dengan tas merah menyelempang di bahu kanannya. Gadis itu tampak seperti gadis biasa yang sepertinya hendak menyebrang jalan, namun ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah tongkat alumunium tergenggam di tangan kananya. Beberapa kali ia maju mundur, tak jadi melangkah, ketika kendaraan berlaluan di hadapannya. Aku heran. Apakah telinganya begitu peka, hingga tahu bahwa ada kendaraan yang akan lewat? Atau jangan-jangan dia tak benar-benar buta?
Penasaran, kuturunkan kecepatan motorku ketika lewat di hadapannya. Sekilas kupandang wajah manisnya, kulihat bola matanya yang keabu-abuan. Seolah tahu aku memperhatikannya, gadis itu tiba-tiba saja tersenyum. Aku terkejut. Kubalas senyum itu sekilas, dan kuluncurkan motorku meninggalkan gadis bertongkat itu begitu saja.

Memasuki jalan raya yang lebih besar, kutancap gas lebih tinggi, dan semakin tinggi. Ya, seperti kebanyakan remaja yang gemar berpacu di atas sepeda motor, aku pun menikmati saat-saat semacam itu. Adrenalinku melonjak, kepuasan kudapatkan ketika sepeda motorku berhasil berkelok-kelok dengan lincah membelah kepadatan Jakarta. Akan tetapi, agaknya siang itu Dewi Fortuna enggan berpihak padaku. Mungkin sang dewi sudah malas mengurusiku yang telah berkali-kali dengan sengaja menantang maut.
Di sebuah perempatan jalan, tiba-tiba sebuah truk melintas. Lampu merah di jalurku memang sudah menyala, tapi kecepatan motorku yang terlalu tinggi membuatku tak dapat menghentikan lajunya. Panik, kubanting stang motorku ke kanan. Detik itu juga, aku bersama motorku meluncur miring menggesek aspal, terpelanting memasuki bagian bawah truk. Entah benda keras apa yang membentur kepalaku yang berhelm, kemudian semuanya gelap.
Sial betul aku hari itu. Kadang kupikir Tuhan marah padaku. Aku melihat seorang gadis tunanetra yang kesulitan menyebrang jalan, tapi kutinggalkan dia begitu saja, makanya Tuhan menghukumku. Kini aku tak ubahnya dengan gadis itu. Aku tak lagi bisa bepergian dengan motor kesayanganku. Sebagai gantinya, sebuah tongkat alumunium setia menemaniku.
Sedih, marah, kecewa, semua perasaan beraduk-aduk dalam benakku. Bukan hal mudah berdamai dengan kegelapan. Aku putus sekolah, padahal saat itu aku sudah duduk di tingkat akhir SMA, beberapa bulan menjelang Ujian Nasional. Aku memang tidak punya mimpi apapun soal sekolah. Aku hanya anak malas yang lebih suka mangkir ke kantin daripada menghadapi pelajaran di kelas yang selalu saja membuat mataku berair dan mulutku terus menguap. Tapi tetap saja terasa sakit ketika aku menyadari bahwa di usiaku yang menginjak 18 tahun, aku hanya memiliki ijazah SMP, sementara teman-temanku sibuk mengurus keperluan kuliah.
Keterpurukan mengantarku pada sebuah yayasan sosial. Aku datang ke sana berkat rekomendasi seorang teman. Meski tak yakin betul tempat apa itu sebenarnya, toh aku datang juga bersama Ayah. Tempat itu, adalah perkumpulan orang-orang bertongkat. Siapa mereka? Tukang pijat atau apa? Ah, kenapa aku ada di sana, aku pun tak mengerti.
“Nah, Saga,” seorang konselor bersuara ramah memberi penjelasan padaku. “Di sini, teman-teman tunanetra belajar komputer. Kamu juga bisa gabung di sini.”
Orang buta belajar komputer? Yang benar saja. Aku terdiam, tidak tahu bagaimana menyampaikan isi kepalaku. Seakan menyadari kebingunganku, konselor itu menggamit lenganku, mengajakku beranjak dari tempat duduk. “Sini saya tunjukkan.”
Ryan, sang konselor, membawaku ke sebuah ruangan. Ia mendorong pintu yang berderit pelan, kemudian ia sapa pria lain di ruangan itu. “Pram, ada tunanetra baru nih, mau belajar komputer.”
“Oh, iya? Mana orangnya?” suara lain menjawab diikuti derit kursi dan langkah yang mendekat.
“Saga, ini Mas Pram, guru computer kita.” Ryan meraih telapak tanganku dan menjabatkannya pada telapak tangan lain yang terasa kasar, yang membalas jabatan tanganku. “Dia ini tunanetra juga.”
Tadi Ryan bilang tunanetra bisa belajar komputer, sekarang ternyata gurunya tunanetra juga. Ah, aku semakin tak mengerti, tempat apa ini sebenarnya.
“Sini saya tunjukkan caranya tunanetra belajar komputer.” Pram menggamit lenganku, membantuku duduk pada sebuah kursi. Ryan pamit undur diri, hingga hanya aku dan Pram di ruangan.
Kuraba meja di hadapanku. Aku menemukan sebuah layar komputer, serta sepasang speaker di kanan dan kiri layar. Sebuah keyboard juga teronggok di laci tipis. Semua itu tak ubahnya seperti seperangkat komputer yang biasa kulihat dulu dan digunakan oleh kebanyakan orang. Pram meraih tangan kananku, dirabakannya pada sebuah kotak di bagian bawah meja yang aku tahu sebagai CPU. Ia menekankan jemariku pada sebuah tombol bulat agak besar di bagian tengahnya.
“Nah, ini tombol start-nya,” ujar Pram. “Kalau terdengar suara seperti baling-baling berputar, dan jika diraba terasa getaran halus pada CPU, berarti komputer mulai loading.”
Aku mulai menyadari, ternyata suara atau getaran sederhana seperti inilah yang membuat tunanetra tahu bahwa komputer mulai menyala. Selanjutnya, kudengar suara yang cukup familiar. Sebuah intro singkat yang mengiringi windows memasuki desktop. Aku sedikit terlonjak ketika sebuah suara digital berceloteh dalam bahasa inggris.
“JAWS for windows is ready.”
“Apa itu, Mas?” Untuk pertama kalinya aku bertanya setelah sejak tadi lebih banyak diam. Rupanya rasa penasaranku mulai tergelitik.
“Nah, itu namanya JAWS, salah satu jenis pembaca layar. Sebuah perangkat lunak yang membuat komputer dapat bersuara,” jelas Pram. “Dengan perangkat lunak inilah tunanetra dapat mengoperasikan komputer secara mandiri.”
Aku berdecak kagum. Rupanya ini rahasianya. Pram menginstruksikanku untuk meraba keyboard, mencari tombol paling kiri bawah, dan menekan tombol di sebelah kananya. Aku ikuti instruksi itu, dan kudengar suara digital berceloteh lagi.
“Start menu, internet, one of six … ”
“Hah? Apa lagi itu?”
“Yang tadi kamu tekan itu namanya tombol windows, atau disebut tombol start menu.” Pram menjelaskan kembali. “Kata orang yang bisa lihat sih, di layar muncul panel yang memuat daftar program-program yang ter-install di komputer kita. Tadi disebutkan internet one of six, artinya program internet exproler terdapat pada urutan pertama dari enam program lain yang terpampang pada panel.”
“Apa kita juga bisa mengetik sendiri, Mas?” Aku semakin penasaran.
“Oh, bisa dong.” Pram terdengar bangga. Sepertinya dia senang karena aku mulai antusias. Pram menginstruksikanku menekan tombol start menu, kemudian menekan tombol panah bawah hingga pembaca layar bersuara digital itu berkata “Microsoft Word two thousand seven”, dan ia merabakan jemariku untuk menekan tombol enter. Ms. Word pun terbuka.
Ia merabakan kesepuluh jemariku pada papan keyboard. Kedua telunjukku masing-masing menyentuh garis kecil timbul pada tombol yang berbeda. “Telunjuk kirimu ada pada huruf F, dan telunjuk kananmu pada huruf J. Garis timbul itu jadi patokan kita untuk mengetahui letak tombol-tombol lain.”
“Berarti kita harus menghafal semua tombol pada keyboard?” keluhku. “Wah, repot ya. Kalau orang awas kan bisa dilihat saja.”
“Nggak juga. Orang yang belajar di akademi sekertaris juga diharuskan menghafal keyboard, lho.” Terang Pram. “Mereka mengecek kesalahan pengetikkan dengan melihat layar, sedangkan kita hanya perlu focus mendengarkan speaker. Itu saja kok bedanya.”
Aku mengangguk-angguk, meski aku tahu Pram tidak akan bisa melihat anggukan itu. “Hmmm, aku coba tulis namaku,, ya?”
Kuraba keyboard perlahan. Dengan mengikuti petunjuk Pram, kuketikkan namaku huruf perhuruf. Ternyata setiap huruf yang kuketikkan dibacakan oleh suara digital itu dalam intonasi bahasa inggris.
“S … A … G … A … .”Ketika kutekan spasi, si suara digital kembali menyebutkannya dalam sebuah kata,tetap dengan intonasi bahasa Inggris. “Saga.”
Kagum, senang, bangga. Perasaan-perasaan itu berselang-seling mengisi rongga hatiku. Baru bisa mengetik nama sendiri saja, bangganya bukan main. Aku mulai bertanya macam-macam pada Pram, dan pria itu menjelaskan semuanya dengan antusias. Pram menerangkan, bahwa seluruh navigasi komputer pada tunanetra dilakukan dengan keyboard. Penggunaan mouse tidak dibutuhkan karena hanya akan membuat tunanetra kehilangan arah saat bernavigasi. Lewat penjelasan Pram, rasanya menjadi hal yang masuk akal jika tunanetra tidak hanya dapat mengetik sendiri, tapi juga berselancar di dunia maya. Semakin banyak mendengar penjelasan Pram, hatiku semakin mengembang, membuatku ingin tahu lebih banyak lagi.
Semasa aku masih melihat, tidak pernah aku memiliki rasa ingin tahu sebesar ini. Aku cenderung tidak peduli dengan pelajaran apapun yang kuterima di sekolah, maupun di luar sekolah. Aku merasa begitu terpuruk ketika kegelapan menyergapku. Namun semangat hidupku kembali lagi sejak aku mengenal komputer bicara- begitu Pram menyebut komputer bersuara digital yang unik itu.
Aku mengikuti kursus computer bicara dengan Pram sebagai instruktur. Hari demi hari, aku mulai mengenal banyak hal yang berkaitan dengan dunia tunanetra, yang kini jadi duniaku. Ternyata tunanetra juga bisa berkomunikasi dengan SMS. Tidak jauh berbeda dengan komputer, ponsel tunanetra juga di-install program pembaca layar. Sekarang aku juga gemar membaca, sesuatu yang nyaris tidak pernah kulakukan semasa melihat dulu. Aku tunanetra sejak remaja, makanya aku tidak terlalu lancer membaca dengan Braille. Aku lebih suka membaca dengan buku bicara, atau disebut digital talking book. Sebuah buku biasa yang dibacakan oleh orang berpenglihatan normal, kemudian direkam dan disimpan dalam CD sehingga bisa didengarkan berulang-ulang oleh banyak tunanetra. Ya, mungkin lebih tepat jika dikatakan tunanetra “mendengarkan” buku, daripada membaca buku. Mulai dari pelajaran sekolah, sampai novel-novel best seller, dibacakan dengan ekspresif, sehingga menelusuri isi sebuah buku menjadi kegiatan yang menyenangkan.

Kenyataan lain yang membuatku sempat terperangah adalah bahwa tunanetra juga bisa menempuh pendidikan hingga jenjang sarjana, bahkan doktoral. Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal di awal masa keterpurukanku. Banyaknya teman-teman tunanetra yang kuliah, membuat rasa iri merasuki batinku. Aku juga ingin kuliah, aku juga ingin jadi sarjana. Tapi, aku ‘kan sudah putus sekolah saat SMA dulu? Bagaimana mungkin?
Perlahan, aku mulai berpikir. Di usiaku yang menginjak 20 tahun, mungkin hanya aku yang berijazah SMP. Terlalu lama aku tenggelam dalam keterpurukan. Ya, sudah waktunya aku untuk bangkit. Aku sudah belajar Braille dan komputer bicara, aku juga bisa membaca buku dengan digital talking book, di samping masih bisa mencari berbagai bahan pelajaran lewat internet. Mengingat kebodohanku selama masih melihat dulu, akhirnya aku pontang-panting mengikuti ujian dan lulus SMA, meski hanya dengan ijazah paket C.
Kegelapan membuatku menyadari bahwa hidup terlalu bermakna untuk dilewatkan begitu saja. Kegelapan yang mengajarkan aku untuk berjuang mencari cahaya. Jika aku tidak terjerumus dalam kegelapan, mungkin aku masih menjadi anak malas yang tidak peduli dengan masa depan. Jika itu yang terjadi, tentu aku tidak akan ada di sini hari ini. Berdiri di sebuah panggung, di hadapan ratusan pasang mata.
“Inilah dia, orang yang menulis buku motivasi yang telah membawa Anda semua datang ke tempat ini.” Suara riang pembawa acara membahana di aula yang bergema, menandakan besarnya ruangan itu. “Ia adalah tunanetra yang merupakan mahasiswa tingkat dua di sebuah universitas. Bagaimana ia bangkit dari keterpurukan, memilih jalan sebagai trainer motivasi, dan menulis buku yang kini ada dalam genggaman Anda? Mari kita sambut … Adrian Saga!”
Tepuk tangan bergemuruh di seantero ruangan. Seorang panitia acara menggandeng lenganku menaiki tangga panggung. Kutarik nafas perlahan, kutahan degup jantungku yang semakin memburu, berharap semua berjalan lancer.
“Ini Mas Saga.” Sebuah suara yang kukenal sebagai suara pembawa acara mendekatiku dan menyisipkan mikrofon di genggamanku. Aku tersenyum. Seseorang mengarahkan tubuhku agar lurus menghadap penonton.
“Saya berdiri di sini untuk berbagi motivasi dengan Anda.” Kuucap kalimat pembuka dengan lantang dan mantap. “Percayalah, bahwa kesuksesan ada di depan mata Anda karena Anda semua adalah orang yang luar biasa!”
Tuhan, terima kasih karena telah memberiku kegelapan ini. Gelap yang membuatku mampu melihat cahaya. Keterpurukan yang mengajarkanku untuk bangkit berdiri dan mendaki cita di atas puncak. Sungguh tiada yang mustahil jika Engkau berkehendak

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More