Aku duduk menunggu di sebuah ruangan. Sayup-sayup terdengar suara
riuh rendah dari balik pintu. Kelihatannya suasana sudah mulai ramai
karena acara akan dimulai beberapa menit lagi. Kuhela nafas perlahan.
Senang bercampur gugup merasuki batinku, sebentar lagi aku akan tampil
di hadapan banyak orang. Pada saat seperti ini, aku selalu teringat
dengan peristiwa empat tahun yang lalu. Jika peristiwa itu tidak
terjadi, mungkin aku juga tidak akan pernah ada di sini.
Hari itu, aku mengendarai motorku dengan kecepatan standar. Aku
telusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Jalan yang biasa aku lalui
sepulang sekolah, dengan beberapa pohon rindang di kanan kiri. Kulihat
seorang gadis berseragam putih abu-abu, dengan tas merah menyelempang di
bahu kanannya. Gadis itu tampak seperti gadis biasa yang sepertinya
hendak menyebrang jalan, namun ada sesuatu yang menarik perhatianku.
Sebuah tongkat alumunium tergenggam di tangan kananya. Beberapa kali ia
maju mundur, tak jadi melangkah, ketika kendaraan berlaluan di
hadapannya. Aku heran. Apakah telinganya begitu peka, hingga tahu bahwa
ada kendaraan yang akan lewat? Atau jangan-jangan dia tak benar-benar
buta?
Penasaran, kuturunkan kecepatan motorku ketika lewat di hadapannya.
Sekilas kupandang wajah manisnya, kulihat bola matanya yang keabu-abuan.
Seolah tahu aku memperhatikannya, gadis itu tiba-tiba saja tersenyum.
Aku terkejut. Kubalas senyum itu sekilas, dan kuluncurkan motorku
meninggalkan gadis bertongkat itu begitu saja.
Memasuki jalan raya yang lebih besar, kutancap gas lebih tinggi, dan semakin tinggi. Ya, seperti kebanyakan remaja yang gemar berpacu di atas sepeda motor, aku pun menikmati saat-saat semacam itu. Adrenalinku melonjak, kepuasan kudapatkan ketika sepeda motorku berhasil berkelok-kelok dengan lincah membelah kepadatan Jakarta. Akan tetapi, agaknya siang itu Dewi Fortuna enggan berpihak padaku. Mungkin sang dewi sudah malas mengurusiku yang telah berkali-kali dengan sengaja menantang maut.
Memasuki jalan raya yang lebih besar, kutancap gas lebih tinggi, dan semakin tinggi. Ya, seperti kebanyakan remaja yang gemar berpacu di atas sepeda motor, aku pun menikmati saat-saat semacam itu. Adrenalinku melonjak, kepuasan kudapatkan ketika sepeda motorku berhasil berkelok-kelok dengan lincah membelah kepadatan Jakarta. Akan tetapi, agaknya siang itu Dewi Fortuna enggan berpihak padaku. Mungkin sang dewi sudah malas mengurusiku yang telah berkali-kali dengan sengaja menantang maut.
Di sebuah perempatan jalan, tiba-tiba sebuah truk melintas. Lampu
merah di jalurku memang sudah menyala, tapi kecepatan motorku yang
terlalu tinggi membuatku tak dapat menghentikan lajunya. Panik,
kubanting stang motorku ke kanan. Detik itu juga, aku bersama motorku
meluncur miring menggesek aspal, terpelanting memasuki bagian bawah
truk. Entah benda keras apa yang membentur kepalaku yang berhelm,
kemudian semuanya gelap.
Sial betul aku hari itu. Kadang kupikir Tuhan marah padaku. Aku
melihat seorang gadis tunanetra yang kesulitan menyebrang jalan, tapi
kutinggalkan dia begitu saja, makanya Tuhan menghukumku. Kini aku tak
ubahnya dengan gadis itu. Aku tak lagi bisa bepergian dengan motor
kesayanganku. Sebagai gantinya, sebuah tongkat alumunium setia
menemaniku.
Sedih, marah, kecewa, semua perasaan beraduk-aduk dalam benakku.
Bukan hal mudah berdamai dengan kegelapan. Aku putus sekolah, padahal
saat itu aku sudah duduk di tingkat akhir SMA, beberapa bulan menjelang
Ujian Nasional. Aku memang tidak punya mimpi apapun soal sekolah. Aku
hanya anak malas yang lebih suka mangkir ke kantin daripada menghadapi
pelajaran di kelas yang selalu saja membuat mataku berair dan mulutku
terus menguap. Tapi tetap saja terasa sakit ketika aku menyadari bahwa
di usiaku yang menginjak 18 tahun, aku hanya memiliki ijazah SMP,
sementara teman-temanku sibuk mengurus keperluan kuliah.
Keterpurukan mengantarku pada sebuah yayasan sosial. Aku datang ke
sana berkat rekomendasi seorang teman. Meski tak yakin betul tempat apa
itu sebenarnya, toh aku datang juga bersama Ayah. Tempat itu, adalah
perkumpulan orang-orang bertongkat. Siapa mereka? Tukang pijat atau apa?
Ah, kenapa aku ada di sana, aku pun tak mengerti.
“Nah, Saga,” seorang konselor bersuara ramah memberi penjelasan
padaku. “Di sini, teman-teman tunanetra belajar komputer. Kamu juga bisa
gabung di sini.”
Orang buta belajar komputer? Yang benar saja. Aku terdiam, tidak tahu
bagaimana menyampaikan isi kepalaku. Seakan menyadari kebingunganku,
konselor itu menggamit lenganku, mengajakku beranjak dari tempat duduk.
“Sini saya tunjukkan.”
Ryan, sang konselor, membawaku ke sebuah ruangan. Ia mendorong pintu
yang berderit pelan, kemudian ia sapa pria lain di ruangan itu. “Pram,
ada tunanetra baru nih, mau belajar komputer.”
“Oh, iya? Mana orangnya?” suara lain menjawab diikuti derit kursi dan langkah yang mendekat.
“Saga, ini Mas Pram, guru computer kita.” Ryan meraih telapak
tanganku dan menjabatkannya pada telapak tangan lain yang terasa kasar,
yang membalas jabatan tanganku. “Dia ini tunanetra juga.”
Tadi Ryan bilang tunanetra bisa belajar komputer, sekarang ternyata
gurunya tunanetra juga. Ah, aku semakin tak mengerti, tempat apa ini
sebenarnya.
“Sini saya tunjukkan caranya tunanetra belajar komputer.” Pram
menggamit lenganku, membantuku duduk pada sebuah kursi. Ryan pamit undur
diri, hingga hanya aku dan Pram di ruangan.
Kuraba meja di hadapanku. Aku menemukan sebuah layar komputer, serta
sepasang speaker di kanan dan kiri layar. Sebuah keyboard juga teronggok
di laci tipis. Semua itu tak ubahnya seperti seperangkat komputer yang
biasa kulihat dulu dan digunakan oleh kebanyakan orang. Pram meraih
tangan kananku, dirabakannya pada sebuah kotak di bagian bawah meja yang
aku tahu sebagai CPU. Ia menekankan jemariku pada sebuah tombol bulat
agak besar di bagian tengahnya.
“Nah, ini tombol start-nya,” ujar Pram. “Kalau terdengar suara
seperti baling-baling berputar, dan jika diraba terasa getaran halus
pada CPU, berarti komputer mulai loading.”
Aku mulai menyadari, ternyata suara atau getaran sederhana seperti
inilah yang membuat tunanetra tahu bahwa komputer mulai menyala.
Selanjutnya, kudengar suara yang cukup familiar. Sebuah intro singkat
yang mengiringi windows memasuki desktop. Aku sedikit terlonjak ketika
sebuah suara digital berceloteh dalam bahasa inggris.
“JAWS for windows is ready.”
“Apa itu, Mas?” Untuk pertama kalinya aku bertanya setelah sejak tadi
lebih banyak diam. Rupanya rasa penasaranku mulai tergelitik.
“Nah, itu namanya JAWS, salah satu jenis pembaca layar. Sebuah
perangkat lunak yang membuat komputer dapat bersuara,” jelas Pram.
“Dengan perangkat lunak inilah tunanetra dapat mengoperasikan komputer
secara mandiri.”
Aku berdecak kagum. Rupanya ini rahasianya. Pram menginstruksikanku
untuk meraba keyboard, mencari tombol paling kiri bawah, dan menekan
tombol di sebelah kananya. Aku ikuti instruksi itu, dan kudengar suara
digital berceloteh lagi.
“Start menu, internet, one of six … ”
“Hah? Apa lagi itu?”
“Yang tadi kamu tekan itu namanya tombol windows, atau disebut tombol
start menu.” Pram menjelaskan kembali. “Kata orang yang bisa lihat sih,
di layar muncul panel yang memuat daftar program-program yang
ter-install di komputer kita. Tadi disebutkan internet one of six,
artinya program internet exproler terdapat pada urutan pertama dari enam
program lain yang terpampang pada panel.”
“Apa kita juga bisa mengetik sendiri, Mas?” Aku semakin penasaran.
“Oh, bisa dong.” Pram terdengar bangga. Sepertinya dia senang karena
aku mulai antusias. Pram menginstruksikanku menekan tombol start menu,
kemudian menekan tombol panah bawah hingga pembaca layar bersuara
digital itu berkata “Microsoft Word two thousand seven”, dan ia
merabakan jemariku untuk menekan tombol enter. Ms. Word pun terbuka.
Ia merabakan kesepuluh jemariku pada papan keyboard. Kedua telunjukku
masing-masing menyentuh garis kecil timbul pada tombol yang berbeda.
“Telunjuk kirimu ada pada huruf F, dan telunjuk kananmu pada huruf J.
Garis timbul itu jadi patokan kita untuk mengetahui letak tombol-tombol
lain.”
“Berarti kita harus menghafal semua tombol pada keyboard?” keluhku. “Wah, repot ya. Kalau orang awas kan bisa dilihat saja.”
“Nggak juga. Orang yang belajar di akademi sekertaris juga diharuskan
menghafal keyboard, lho.” Terang Pram. “Mereka mengecek kesalahan
pengetikkan dengan melihat layar, sedangkan kita hanya perlu focus
mendengarkan speaker. Itu saja kok bedanya.”
Aku mengangguk-angguk, meski aku tahu Pram tidak akan bisa melihat anggukan itu. “Hmmm, aku coba tulis namaku,, ya?”
Kuraba keyboard perlahan. Dengan mengikuti petunjuk Pram, kuketikkan
namaku huruf perhuruf. Ternyata setiap huruf yang kuketikkan dibacakan
oleh suara digital itu dalam intonasi bahasa inggris.
“S … A … G … A … .”Ketika kutekan spasi, si suara digital kembali
menyebutkannya dalam sebuah kata,tetap dengan intonasi bahasa Inggris.
“Saga.”
Kagum, senang, bangga. Perasaan-perasaan itu berselang-seling mengisi
rongga hatiku. Baru bisa mengetik nama sendiri saja, bangganya bukan
main. Aku mulai bertanya macam-macam pada Pram, dan pria itu menjelaskan
semuanya dengan antusias. Pram menerangkan, bahwa seluruh navigasi
komputer pada tunanetra dilakukan dengan keyboard. Penggunaan mouse
tidak dibutuhkan karena hanya akan membuat tunanetra kehilangan arah
saat bernavigasi. Lewat penjelasan Pram, rasanya menjadi hal yang masuk
akal jika tunanetra tidak hanya dapat mengetik sendiri, tapi juga
berselancar di dunia maya. Semakin banyak mendengar penjelasan Pram,
hatiku semakin mengembang, membuatku ingin tahu lebih banyak lagi.
Semasa aku masih melihat, tidak pernah aku memiliki rasa ingin tahu
sebesar ini. Aku cenderung tidak peduli dengan pelajaran apapun yang
kuterima di sekolah, maupun di luar sekolah. Aku merasa begitu terpuruk
ketika kegelapan menyergapku. Namun semangat hidupku kembali lagi sejak
aku mengenal komputer bicara- begitu Pram menyebut komputer bersuara
digital yang unik itu.
Aku mengikuti kursus computer bicara dengan Pram sebagai instruktur.
Hari demi hari, aku mulai mengenal banyak hal yang berkaitan dengan
dunia tunanetra, yang kini jadi duniaku. Ternyata tunanetra juga bisa
berkomunikasi dengan SMS. Tidak jauh berbeda dengan komputer, ponsel
tunanetra juga di-install program pembaca layar. Sekarang aku juga gemar
membaca, sesuatu yang nyaris tidak pernah kulakukan semasa melihat
dulu. Aku tunanetra sejak remaja, makanya aku tidak terlalu lancer
membaca dengan Braille. Aku lebih suka membaca dengan buku bicara, atau
disebut digital talking book. Sebuah buku biasa yang dibacakan oleh
orang berpenglihatan normal, kemudian direkam dan disimpan dalam CD
sehingga bisa didengarkan berulang-ulang oleh banyak tunanetra. Ya,
mungkin lebih tepat jika dikatakan tunanetra “mendengarkan” buku,
daripada membaca buku. Mulai dari pelajaran sekolah, sampai novel-novel
best seller, dibacakan dengan ekspresif, sehingga menelusuri isi sebuah
buku menjadi kegiatan yang menyenangkan.
Kenyataan lain yang membuatku sempat terperangah adalah bahwa tunanetra juga bisa menempuh pendidikan hingga jenjang sarjana, bahkan doktoral. Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal di awal masa keterpurukanku. Banyaknya teman-teman tunanetra yang kuliah, membuat rasa iri merasuki batinku. Aku juga ingin kuliah, aku juga ingin jadi sarjana. Tapi, aku ‘kan sudah putus sekolah saat SMA dulu? Bagaimana mungkin?
Kenyataan lain yang membuatku sempat terperangah adalah bahwa tunanetra juga bisa menempuh pendidikan hingga jenjang sarjana, bahkan doktoral. Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal di awal masa keterpurukanku. Banyaknya teman-teman tunanetra yang kuliah, membuat rasa iri merasuki batinku. Aku juga ingin kuliah, aku juga ingin jadi sarjana. Tapi, aku ‘kan sudah putus sekolah saat SMA dulu? Bagaimana mungkin?
Perlahan, aku mulai berpikir. Di usiaku yang menginjak 20 tahun,
mungkin hanya aku yang berijazah SMP. Terlalu lama aku tenggelam dalam
keterpurukan. Ya, sudah waktunya aku untuk bangkit. Aku sudah belajar
Braille dan komputer bicara, aku juga bisa membaca buku dengan digital
talking book, di samping masih bisa mencari berbagai bahan pelajaran
lewat internet. Mengingat kebodohanku selama masih melihat dulu,
akhirnya aku pontang-panting mengikuti ujian dan lulus SMA, meski hanya
dengan ijazah paket C.
Kegelapan membuatku menyadari bahwa hidup terlalu bermakna untuk
dilewatkan begitu saja. Kegelapan yang mengajarkan aku untuk berjuang
mencari cahaya. Jika aku tidak terjerumus dalam kegelapan, mungkin aku
masih menjadi anak malas yang tidak peduli dengan masa depan. Jika itu
yang terjadi, tentu aku tidak akan ada di sini hari ini. Berdiri di
sebuah panggung, di hadapan ratusan pasang mata.
“Inilah dia, orang yang menulis buku motivasi yang telah membawa Anda
semua datang ke tempat ini.” Suara riang pembawa acara membahana di
aula yang bergema, menandakan besarnya ruangan itu. “Ia adalah tunanetra
yang merupakan mahasiswa tingkat dua di sebuah universitas. Bagaimana
ia bangkit dari keterpurukan, memilih jalan sebagai trainer motivasi,
dan menulis buku yang kini ada dalam genggaman Anda? Mari kita sambut …
Adrian Saga!”
Tepuk tangan bergemuruh di seantero ruangan. Seorang panitia acara
menggandeng lenganku menaiki tangga panggung. Kutarik nafas perlahan,
kutahan degup jantungku yang semakin memburu, berharap semua berjalan
lancer.
“Ini Mas Saga.” Sebuah suara yang kukenal sebagai suara pembawa acara
mendekatiku dan menyisipkan mikrofon di genggamanku. Aku tersenyum.
Seseorang mengarahkan tubuhku agar lurus menghadap penonton.
“Saya berdiri di sini untuk berbagi motivasi dengan Anda.” Kuucap
kalimat pembuka dengan lantang dan mantap. “Percayalah, bahwa kesuksesan
ada di depan mata Anda karena Anda semua adalah orang yang luar biasa!”
Tuhan, terima kasih karena telah memberiku kegelapan ini. Gelap yang
membuatku mampu melihat cahaya. Keterpurukan yang mengajarkanku untuk
bangkit berdiri dan mendaki cita di atas puncak. Sungguh tiada yang
mustahil jika Engkau berkehendak
1 komentar:
"sebuah renungan yang inspiratif !!
Posting Komentar
Terima kasih anda telah memberi komentar